Dikutip dari situs UNHCR Indonesia, Konvensi Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi mendefinisikan pengungsi sebagai orang yang dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan penganiayaan, yang disebabkan oleh alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial dan partai politik tertentu, berada di luar Negara kebangsaannya dan tidak menginginkan perlindungan dari Negara tersebut.
Sedangkan pencari suaka adalah seseorang yang menyebut dirinya sebagai pengungsi, namun permintaan mereka untuk memperoleh perlindungan belum selesai dipertimbangkan. Dalam artian, akan ada pertimbangan untuk melatarbelakangi apakah seorang pencari suaka dapat memperoleh status pengungsi atau tidak. Apabila ditolak, pencari suaka tersebut memiliki satu kesempatan untuk mengajukan banding atas permintaan perlindungan internasional tersebut.
Pengertian Deportasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI adalah pembuangan, pengasingan, atau pengusiran seseorang ke luar negeri sebagai hukuman (sanksi deportasi) atau karena orang tersebut tidak berhak tinggal di Indonesia.
Penjelasan Kasus Deportasi yang Dilakukan Pihak Berwenang Republik Indonesia Berdasarkan Perspektif Prinsip Universal Hak Asasi Manusia dan Hukum Internasional
Kasus deportasi pencari suaka Myanmar oleh Indonesia baru-baru ini menjadi sorotan publik. Problematika ini memuncak saat adanya laporan bahwa pihak berwenang Republik Indonesia telah mendeportasi seorang warga Negara Myanmar yang mencari suaka di Indonesia pada tanggal 21 Juni 2023.
Kasus deportasi ini bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Berdasarkan informasi yang didapatkan oleh Amnesty Internasional, terdapat 4 (empat) kasus deportasi pengungsi dan pencari suaka dari Pakistan, Somaliland, Palestina, dan Turki oleh otoritas imigrasi Indonesia sepanjang tahun 2021 hingga Juni 2023. Tidak ada alasan yang jelas untuk melandasi tindakan deportasi atau refoulement yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Keberulangan kasus deportasi pengungsi dan pencari suaka ini mencerminkan inkonsistensi sikap pemerintah Indonesia dalam komitmennya terhadap perlindungan hak asasi manusia. Keberulangan kasus ini juga mencederai wajah Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023 serta menimbulkan keraguan terkait komitmen pemerintah Indonesia terhadap isu kemanusiaan. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan Indonesia dalam mendeportasi pengungsi dan pencari suaka bertentangan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku dan diakui oleh Indonesia.
Berikut adalah prinsip dan ketentuan yang dilanggar ketika pihak berwenang Indonesia melakukan tindakan deportasi terhadap pengungsi dan pencari suaka:
1. Prinsip Non-Refoulement dari Hukum Kebiasaan Internasional
Prinsip non-refoulement ini adalah prinsip yang mengatur bahwa tidak seorangpun dapat dikembalikan ke suatu Negara di mana mereka akan menghadapi bahaya yang tidak dapat dipulihkan (irreparable harm). Prinsip ini melarang adanya penolakan dan pengembalian pengungsi atau pencari suaka ke wilayah tempat kebebasan dan hidup mereka terancam karena alasan-alasan tertentu seperti alasan ras, agama, atau kebangsaan.
Prinsip non-refoulement merupakan aspek dasar dari hukum pengungsi dan telah dikembangkan menjadi hukum kebiasaan internasional yang berlaku secara universal. Ini berarti bahwa prinsip ini bersifat mengikat bagi setiap Negara, termasuk Negara Indonesia, meskipun Indonesia belum menjadi peserta penandatanganan Konvensi Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi.
Beberapa ahli hukum internasional mengategorikan prinsip non-refoulement sebagai ius cogens, yang diartikan sebagai suatu norma dasar hukum internasional. Dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian (diratifikasi oleh Indonesia menjadi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional), norma dasar hukum internasional adalah suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional sebagai suatu norma yang tidak boleh dilanggar dan hanya bisa diubah oleh norma dasar hukum internasional baru yang sama sifatnya.
2. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
Indonesia merupakan salah satu Negara yang mendukung dan berperan aktif dalam perlindungan serta berbagai inisiatif Hak Asasi Manusia Internasional. Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam penghormatan dan pelaksanaan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)/Universal Declaration on Human Rights (UDHR).
Tindakan deportasi terhadap pengungsi dan pencari suaka mencederai dan bertentangan dengan Pasal 14 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mencari dan menikmati suaka dari Negara lain untuk menghindari persekusi atau tindakan pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sekelompok orang dan disakiti, dipersulit, atau ditumpas.
3. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (The Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi konvensi ini dalam bentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).
Tindakan deportasi bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1) Konvensi Menentang Penyiksaan yang menyatakan bahwa tidak ada Negara Pihak yang boleh mengusir, mengembalikan (refouler), atau mengekstradisi seseorang ke Negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu dalam bahaya karena menjadi sasaran penyiksaan.
4. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant in Civil and Political Rights)
Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dalam bentuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Sebagai Negara yang telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Indonesia memiliki kewajiban untuk menjamin hak setiap individu untuk aman dari bahaya yang tidak dapat dipulihkan jika mereka kembali ke Negara asalnya dengan tidak melakukan ekstradisi atau deportasi, terlepas dari status kewarganegaraan mereka sebagai pengungsi dan pencari suaka, ataupun individu tanpa kewarganegaraan, seperti disebutkan dalam Komentar Umum Komite HAM PBB No. 31.
Oleh karena itu, seharusnya pihak yang berwenang membantu Pemerintah Indonesia untuk menunaikan tanggung jawabnya dalam memberikan perlindungan dan akses bagi pengungsi dan pencari suaka yang datang ke Indonesia untuk menghindari ancaman persekusi di Negara asalnya. Hal ini juga dapat dilakukan melalui kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan organisasi internasional yang memiliki mandat untuk mengurus pengungsi dan pencari suaka.
BAS.
Saran terbaik dari penulis untuk kasus ini gmana?