Menurut Kriminolog dan Sosiolog Belanda, W.A. Bonger, kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menyelidiki kejahatan dengan seluas-luasnya (kriminologi teoretis), termasuk penyebab kejahatan itu sendiri. Manusia mengalami kejahatan dari waktu ke waktu dan sampai saat ini penyebab terjadinya suatu kejahatan masih menjadi perdebatan.
Secara umum kriminologi bertujuan untuk mempelajari kejahatan dari berbagai aspek. Dengan mempelajari kriminologi, masyarakat dapat mengenal fenomena kejahatan yang terjadi serta mampu untuk memberantas dan menghindarkan diri dari kejahatan. Karena hal yang perlu kita sadari adalah penyebab kejahatan juga bisa berasal dari diri kita sendiri.
Berikut adalah teori kriminologi tentang penyebab kejahatan.
1. Teori Asosiasi Differensial (Differential Association Theory)
Edwin Sutherland memperkenalkan teori ini dalam bukunya yang berjudul “Principle of Criminology” dalam dua versi. Sutherland mengemukakan versi pertama pada tahun 1939. Sutherland berpendapat bahwa perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari dalam lingkungan sosial, artinya semua tingkah laku yang ada dapat dipelajari dengan berbagai cara. Sedangkan versi kedua dikemukakan pada tahun 1974, yang menegaskan bahwa semua tingkah laku dapat dipelajari. Sutherland juga mengganti pengertian social disorganization menjadi differential social organization.
Teori ini memandang kedua orang tua bukanlah pihak yang menurunkan perilaku jahat, melainkan perilaku jahat tersebut dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab.
2. Teori Anomi (Anomie Theory)
Emile Durkheim adalah tokoh yang memperkenalkan teori ini. Kata anomie berasal dari Bahasa Yunani, yaitu a artinya “tanpa” dan nomos artinya “hukum” atau “peraturan”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan keadaan yang deregulasi dalam masyarakat. Keadaan deregulasi dimaksudkan sebagai tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat dalam masyarakat dan orang tidak tau apa yang diharapkan dari orang lain.
Pada saat itu, perilaku menyimpang yang paling banyak terjadi adalah bunuh diri. Dalam risetnya, Durkheim berasumsi bahwa bunuh diri terjadi akibat tiga kondisi sosial yang menekan, yaitu:
- Deregulasi kebutuhan atau anomi,
- Regulasi yang keterlaluan atau fatalism,
- Kurangnya integrasi struktural atau egoisme.
3. Teori Sub Kultur (Subculture Theory)
Albert K. Cohen mengemukakan teori ini dalam bukunya yang berjudul “Deliquent Boys”. Teori ini membahas mengenai bentuk kenakalan remaja serta perkembangan berbagai tipe geng. Teori ini bermula pada tahun 1950-an dengan bangkitnya perilaku konsumtif kelas menengah Amerika.
Pada teori ini, Cohen berusaha menjelaskan terjadinya peningkatan perilaku delinkuen di daerah kumuh. Cohen menyimpulkan bahwa perilaku delinkuen di kalangan remaja, usia muda, masyarakat kelas bawah, merupakan cermin ketidakpuasan terhadap norma dan nilai kelompok kelas menengah yang mendominasi kultur Amerika pada saat itu. Kondisi inilah yang memicu adanya konflik budaya yang disebut “status frustration” dan mengakibatkan timbulnya keterlibatan anak-anak kelas bawah dan geng-geng yang kemudian berperilaku menyimpang.
4. Teori Kontrol Sosial (Control Social Theory)
Teori lahir pada peralihan abad 20 dalam satu volume buku E.A. Ross, seorang Bapak Sosiologi Amerika. Travis Hirschi adalah tokoh yang mempelopori teori ini. Teori ini tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan, melainkan mempertanyakan mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau mengapa orang taat pada hukum.
Teori ini berargumentasi bahwa pandangan terhadap individu bukan sebagai orang yang secara intrinsik patuh pada hukum, namun menganut segi pandangan antitesis di mana orang harus belajar untuk tidak melakukan tindakan pidana. Anggapan bahwa manusia lahir dengan kecenderungan alami untuk melanggar aturan hukum adalah hal yang mendasari argumentasi ini.
Ada 4 (empat) elemen ikatan sosial yang wajib terbentuk dalam setiap masyarakat, yaitu:
- Attachment (kasih sayang), yaitu manusia mampu terlibat dengan orang lain. Jika attachment terbentuk, maka orang tersebut akan peka terhadap pikiran, perasaan, dan kehendak orang lain.
- Commitment (keterikatan seseorang pada subsistem), yaitu keterikatan seseorang pada subsistem konvensional seperti sekolah, pekerjaan, organisasi-organisasi lain dan sebagainya.
- Involvement (keterlibatan), yaitu aktivitas seseorang dalam subsistem konvensional. Saat seseorang aktif dalam organisasi atau kegiatan bermanfaat lainnya, maka kecil potensinya untuk melakukan deviasi atau bentuk penyimpangan/pelanggaran.
- Beliefs (kepercayaan), yaitu kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral yang ada. Kepercayaan ini akan menimbulkan kepatuhan terhadap norma tersebut dan mengurangi hasrat untuk melakukan pelanggaran.
Jika keempat elemen ini gagal terbentuk dalam masyarakat, maka para remaja akan menggunakan haknya untuk melanggar.
5. Teori Label (Labelling Theory)
Pelopor teori ini adalah Edwin M. Lemert pada tahun 1960-an. Teori ini menekankan pembahasannya pada dua hal, yaitu:
- Berisi penjelasan tentang mengapa dan bagaimana masyarakat memberikan label kepada seseorang,
- Pengaruh/efek dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan buruk.
Becker (salah seorang tokoh teori label) menyatakan bahwa kejahatan terbentuk karena aturan-aturan lingkungan, sifat individual, dan reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku dapat menimbulkan perilaku jahat.
Pemberian label dapat menyebabkan seseorang menjadi jahat. Penyebab hal itu terjadi adalah:
- Label mengakibatkan masyarakat memperhatikan individu tersebut dengan intens,
- Individu yang menerima label tersebut berpotensi untuk menjalani hidup sesuai dengan label tersebut. Penyebabnya adalah tidak tahannya individu tersebut pada label yang ia peroleh.
Hal ini menunjukkan bahwa perilaku dan tindakan seseorang sangat mempengaruhi eksistensinya dalam masyarakat. Seseorang yang mendapatkan label dari masyarakat akan terus terikat pada label tersebut seumur hidupnya. Inilah yang menjadi salah satu penyebab kejahatan tersebut terjadi.
6. Teori Konflik (Conflict Theory)
Pelopor dari teori ini adalah Karl Marx. Teori Konflik ini berasal dari kekecewaannya pada sistem ekonomi kapitalis yang menurut pandangannya mengeksploitasi buruh. Tokoh utama teori konflik selain Karl Marx dan Marx Weber, yang ternama adalah Ralp Dahrendorf dan Lewis A. Coser.
Teori-teori konflik pada umumnya memusatkan perhatiannya terhadap pengenalan dan penganalisisan kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, penyebab dan bentuknya, serta akibatnya dalam menimbulkan perubahan sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan.
Teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Kapitalisme merupakan akar dari konflik yang ada, karena ia merupakan sumber dari adanya ketidaksamaan yang tidak adil dalam masyarakat. Ketidaksamaan ini akan menimbulkan konflik antar mereka yang berkuasa dengan mereka yang tidak memiliki kekuasaan.
Nah, itu dia penjelasan dari teori kriminologi tentang sebab-sebab terjadinya kejahatan. Semoga bermanfaat bagi pembaca agar dapat memberantas kejahatan fan menghindarkan diri dari perbuatan kejahatan. BAS.
Comments 1