Dulu, coretan di tembok kota sering dianggap sebagai vandalisme, sebagian besar orang menganggapnya sebagai gangguan visual yang mengganggu tampilan ruang publik. Namun, seiring berjalannya waktu, street art telah berkembang menjadi bentuk ekspresi artistik yang diakui dan bernilai tinggi di dunia seni. Dari sekadar tulisan nama geng di dinding, street art telah berevolusi menjadi karya yang memadukan estetika, kritik sosial, hingga identitas budaya urban.
Dari Vandalisme ke Ekspresi Kreatif
Sejarah street art tidak bisa dilepaskan dari gerakan graffiti pada tahun 1960-an dan 1970-an di Amerika Serikat, khususnya di New York. Kala itu, coretan nama, simbol, atau pesan politik di dinding dan kereta bawah tanah menjadi cara anak muda marginal untuk menegaskan eksistensi. Meskipun dianggap merusak fasilitas umum, graffiti sebenarnya mencerminkan kegelisahan sosial dan menjadi sarana komunikasi alternatif di ruang publik.
Seiring waktu, para seniman jalanan mulai mengembangkan teknik baru, memperhalus gaya visual, dan menghadirkan pesan-pesan yang lebih kompleks. Dari sekadar tanda eksistensi, street art bertransformasi menjadi media artistik dengan kekuatan estetik dan sosial yang kuat.
Medium Kritik dan Suara Publik
Street art sering digunakan sebagai sarana kritik sosial karena unik dan ada di ruang terbuka serta dapat dilihat oleh siapa saja, tanpa batasan kelas sosial atau biaya masuk. Mural atau stencil di dinding kota sering menampilkan pesan tentang ketidakadilan, masalah lingkungan, politik, dan masalah kemanusiaan.
Kota-kota seperti Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta di Indonesia menyaksikan perkembangan street art yang pesat. Di luar fungsinya sebagai media hiasan, dinding kota juga berfungsi sebagai suara masyarakat yang berbicara tentang keberagaman, kebebasan, dan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, street art tidak hanya merupakan estetika visual tetapi juga alat untuk mendukung demokrasi budaya.
Dari Jalan Ke Galeri
Fenomena menarik dari perkembangan street art adalah transisinya dari jalanan menuju ruang-ruang seni formal. Banyak karya seni street art sekarang ada di galeri bergengsi atau di balai lelang internasional. Nama-nama seperti seniman Inggris Banksy, yang sering mengangkat kritik sosial dengan cara yang sarkastik, menunjukkan bahwa karya jalanan memiliki kemampuan untuk masuk ke pasar seni internasional dan menghasilkan keuntungan yang besar.
Namun, apakah street art kehilangan keberanian dan keasliannya ketika dipindahkan dari tembok jalanan ke galeri? Sementara beberapa seniman menolak komersialisasi, yang lain melihatnya sebagai bentuk pengakuan dan kesempatan untuk memperluas spektrum karya mereka.
Identitas Kota dan Daya Tarik Wisata
Selain fungsi artistik dan sosial, street art kini juga berkontribusi pada identitas kota. Banyak pemerintah daerah memanfaatkan mural untuk memperindah ruang publik dan menarik wisatawan. Misalnya, kawasan mural di Penang, Malaysia, atau Kampung Warna-Warni di Malang, Indonesia, menjadi destinasi populer yang memadukan seni dan pariwisata.
Street art sekarang dilihat bukan sebagai perusak, tetapi sebagai bagian dari budaya kota yang mempercantik kota dan menghasilkan uang. Ini adalah bukti bahwa seni dapat hadir dalam kehidupan sehari-hari dan bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan.
Bagaimana street art berkembang dari coretan tembok yang dianggap vandalisme menjadi karya seni yang sangat dihargai menunjukkan betapa dinamisnya dunia seni. Street art tidak hanya memperkaya estetika kota tetapi juga menjadi media untuk kritik, ekspresi, dan bahkan identitas kolektif masyarakat.
Karya street art saat ini merupakan representasi dari suara zaman: keras, jujur, dan penuh warna, dan seringkali bernilai miliaran rupiah di pasar seni global. Street art telah berkembang dari jalanan yang kotor menjadi seni yang merakyat dan berkelas dunia.
WH.

