Akhir-akhir ini, masyarakat generasi “strawberi” digemparkan dengan istilah flexing yang di gemparkan oleh anak pejabat-pejabat Indonesia. Mari kita bahas pengertiannya terlebih dahulu.
Kecanggihan teknologi pasti memiliki sisi positif dan negatif. Bagaimana tidak, kini media sosial tak ubahnya sebuah etalase. Mereka yang berasal dari kalangan berduit berlomba-lomba menunjukkan kekayaan dan kemewahannya. Perilaku yang kini mulai ramai dan dikenal dengan istilah flexing. Di mana fleksing sendiri merupakan kata slang untuk perilaku yang merujuk pada pamer.
Menurut KBBI, hedonisme adalah pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Diambil dari kata hedone yang artinya kesenangan. Hal ini menjadi life stayle yang sifatnya kuang baik, dengan hanya mengandalkan kesenangan dan kepuasan tersendiri dan menjadi kebiasaan buruk karena sifatnya yang memaksa.
Hidup berfoya-foya, hura-hura, dan hidup boros merupakan hasil dari pemikiran hedonisme negatif yang dapat menimbulkan kebobrokan di kemudian hari. Dengan memanfaatkan kesenangan sesaat, perilaku hedonisme ini seakan mampu membuat manusia selalu mengedepankan gaya hidup yang berperilaku mewah.
Kehidupan hedonisme ini diperparah dengan munculnya fenomena hangat yang sedang gempar saat ini, yaitu Flexing. Fleksionisme merupakan perilaku seseorang yang bertujuan untuk menunjukkan dan memamerkan kekayaan yang dimiliki oleh orang tersebut melalui berbagai media seperti media sosial.
Dengan menjamurnya media sosial, fenomena flexing ini akan semakin menjadi gaya hidup yang akan terus dilakukan. Cara seseorang melakukan tindakan flexing dianggap orang lain tidak menyenangkan, karena biasanya gaya pamer yang mereka lakukan lebih banyak bersifat negatif, seperti meremehkan dan merendahkan orang lain yang tidak memiliki kekayaan yang sebanding dengannya.
Ketika gaya hidup hedonisme yang mengandalkan kesenangan dan kepuasan tanpa batas berpadu dengan fenomena fleksionisme yang ditujukan untuk memamerkan kekayaan, maka jadilah perpaduan yang pas dan wah, ibarat sambel rujak buah yang bertemu dengan buah-buahan segar.
Jika hedonisme biasanya hanya berisi kegiatan foya-foya, hura-hura dan pemborosan, maka menggabungkannya dengan fleksionisme akan menciptakan kebiasaan buruk foya-foya dan hura-hura yang dipamerkan kepada publik. Jika hedonisme hanya terikat untuk membahagiakan diri sendiri yang jarang dipamerkan, maka flexing membuat kebahagiaan tidak lengkap jika tidak dipamerkan kepada orang lain untuk mencapai keinginan duniawi yang lebih tinggi. Sehingga mereka yang melakukan flexing akan selalu dianggap dan selalu diperhatikan sebagai sultan atau crazy rich.
Sebenarnya kedua hal ini bukanlah hal yang baru, sudah menjamur di masyarakat kita sejak lama. Adanya perubahan sosial yang didorong oleh perkembangan zaman membuat kebebasan seseorang dalam mengekspresikan diri menjadi hal yang wajar untuk dilakukan. Namun, kebebasan tersebut menjadi sebuah hal yang negatif ketika bentuk ekspresi tersebut dilakukan untuk sebuah platform yang memiliki sifat dan kesan yang merugikan.
Media sosial menjadi momok yang tidak dapat dihindari, teknologi yang semakin maju selalu mengalami inovasi dan perkembangan. Media sosial menjadi alat interaksi yang sampai saat ini dinilai cepat, cepat disebarkan kontennya, cepat diterima oleh penerimanya, dan cepat menjadi viral. Media sosial menjadi salah satu moda transportasi bagi para pelaku fleksi yang menyebarkan kehidupan hedonisme yang dipenuhi dengan konten-konten kekayaan yang mewah.
Perubahan perilaku sosial menjadi ancaman, ketika seseorang telah akrab dengan kedua gaya hidup tersebut. Perubahan pola pikir, sifat, sikap, dan kehidupan sosial menjadi gejala yang muncul sebagai akibat dari perubahan perilaku sosial yang berkembang sesuai dengan tuntutan baru mengenai apa yang harus dipamerkan. Seseorang akan lebih mudah merasakan emosi, perilaku seseorang menjadi tidak sopan karena faktor lingkungan dan tontonan, serta proses komunikasi dan rasa hormat tidak lagi menjadi tolak ukur. TA