Istilah “brain drain” menjadi lebih umum dalam diskusi tentang pembangunan nasional dan tenaga kerja terdidik dalam sepuluh tahun terakhir. Istilah ini mengacu pada perpindahan orang-orang berbakat dan berpendidikan tinggi, seperti ilmuwan, insinyur, dokter, akademisi, dan profesional, dari negara asalnya ke negara lain yang dianggap memiliki keadaan yang lebih baik. Fenomena ini menggerus potensi pembangunan jangka panjang Indonesia, sekarang menjadi realitas.
Daya Tarik Negara Tujuan: Antara Fasilitas dan Penghargaan
Daya tarik negara tujuan adalah alasan paling umum mengapa talenta terbaik memilih untuk pergi ke luar negeri. Negara-negara maju biasanya memberikan penghargaan yang tinggi terhadap kualitas individu, fasilitas penelitian yang lengkap, dan lingkungan kerja profesional. Misalnya, laboratorium di sektor akademik di luar negeri memiliki peralatan canggih yang memungkinkan peneliti mengembangkan ide-ide mereka secara maksimal, sesuatu yang sulit ditemukan di dalam negeri karena kekurangan dana dan prosedur yang tidak efisien.
Selain fasilitas, faktor penghargaan juga berperan besar, banyak profesional merasa bahwa di luar negeri, hasil kerja keras mereka diakui dan dihargai secara lebih proporsional, baik dari segi finansial maupun moral. Sistem meritokrasi digunakan di beberapa negara. Ini berarti bahwa orang yang berbakat akan mendapatkan posisi yang layak tanpa terhalang oleh politik jabatan atau senioritas.
Ketimpangan Peluang dan Minimnya Dukungan
Sebaliknya, banyak talenta merasa tidak berkembang di negara asalnya, banyak orang berbakat merasa “terkurung” karena ketidaksesuaian antara kemampuan mereka dan peluang yang tersedia. Misalnya, lulusan dengan prestasi tinggi seringkali menghadapi kesulitan mendapatkan posisi penelitian yang memadai atau bahkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya.
Faktor pendorong lainnya termasuk birokrasi yang rumit, sistem karier yang tidak transparan, dan kurangnya dukungan dari lembaga pemerintah dan swasta. Ada banyak cerita tentang peneliti muda yang gagal mendapatkan dana karena proposal mereka tidak “dekat” dengan pengambil keputusan atau inovator yang menyerah karena ide mereka tidak diterima. Bekerja di luar negeri dengan sistem yang lebih terbuka tampaknya lebih menguntungkan dalam situasi seperti ini.
Faktor Gaya Hidup dan Lingkungan
Selain karier, faktor sosial juga berpengaruh, kualitas hidup di negara maju mulai dari keamanan, layanan publik, hingga keseimbangan kerja menjadi daya tarik tersendiri. Generasi muda kini lebih terbuka terhadap mobilitas global, menjadikan kerja di luar negeri bukan lagi impian elitis, melainkan langkah strategis untuk masa depan.
Dampak Bagi Negara Asal
Dampak brain drain terhadap negara asal tidak bisa dianggap sepele, menghilangnya sumber daya manusia berkualitas berarti hilangnya potensi produktivitas dan inovasi. Karena mereka kehilangan penggerak utama perubahan, bidang pendidikan, penelitian, dan teknologi akan paling terkena dampak. Dengan demikian, negara dapat terjebak dalam lingkaran stagnasi di mana sumber daya manusia yang paling berharga hilang, kualitas institusi menurun, dan kondisi kerja yang tidak menyenangkan terus berulang.
Antara Kehilangan dan Peluang
Meski demikian, fenomena brain drain tidak sepenuhnya negatif.Mereka yang pergi biasanya berfungsi sebagai penghubung antara negara asalnya dan dunia luar. Ada yang kembali dengan proses yang disebut brain gain, di mana mereka membawa pengalaman, jaringan, dan pengetahuan baru, untuk mencapai hal itu, negara asal harus membuat sistem yang memudahkan para profesional ini untuk kembali dan berkontribusi tanpa terjebak dalam birokrasi dan politik.
Jalan Menuju Perubahan
Meskipun mengatasi brain drain bukanlah hal yang mudah, akan tetapi bukanlah juga suatu hal yang mustahil. Penciptaan ekosistem yang menghargai kemampuan dan memungkinkan inovasi adalah kuncinya. Untuk membangun sistem yang adil, transparan, dan berbasis prestasi, pemerintah, lembaga pendidikan, dan sektor industri harus bekerja sama.