Media sosial sekarang menjadi sumber utama pengetahuan siswa di tengah derasnya arus informasi digital. Fenomena ini menunjukkan krisis literasi akademik di mana siswa lebih mengandalkan konten populer daripada jurnal ilmiah yang memiliki dasar penelitian dan validasi.
Informasi Instan dan Pergeseran Cara Belajar
Media sosial cepat, mudah, dan menarik untuk memperoleh pengetahuan, hal ini membuat siswa lebih suka menonton video satu menit daripada membaca jurnal ilmiah yang panjang dan rumit. Akibatnya, kebiasaan menerima informasi tanpa melakukan analisis menggantikan proses berpikir kritis.
Kemudahan akses ke informasi seharusnya menjadi peluang, tetapi tanpa literasi yang baik, itu akan berubah menjadi bahaya. Mahasiswa terbiasa mencari kebenaran ilmiah dengan mengandalkan algoritma daripada logika.
Konten Populer Bukan Menjamin Kebenaran
“Like” dan “views” sering digunakan di media sosial untuk mengukur kredibilitas seseorang, padahal, banyak konten yang hanya mengejar perhatian daripada informasi. Konsep ilmiah sering disederhanakan sehingga mereka kehilangan konteksnya yang sebenarnya. Integritas ilmiah dipertaruhkan ketika siswa mengutip materi semacam ini untuk tugas sekolah.
Krisis ini menunjukkan bahwa tidak hanya minat membaca yang hilang, tetapi juga kemampuan untuk membedakan antara bukti ilmiah, pendapat, dan informasi.
Menurunnya Koneksi Dengan Dunia Akademik
Padahal, akses terhadap jurnal ilmiah kini lebih mudah dari sebelumnya.. Ribuan publikasi tersedia melalui platform seperti Google Scholar dan repositori kampus. Namun, banyak siswa menolak untuk membacanya karena mereka pikir itu rumit dan membosankan.
Akibatnya, budaya ilmiah di kampus semakin melemah. Diskusi akademik digantikan oleh argumen dangkal yang bersumber dari konten populer. Dunia akademik yang seharusnya melatih analisis dan ketelitian berubah menjadi ruang konsumsi informasi cepat.
Peran Kampus Dan Dosen Yang Mendesak Diperkuat
Krisis ini harus diselesaikan, dosen dan institusi pendidikan harus mengembalikan semangat membaca dan meneliti sebagai pilar pendidikan tinggi. Literasi akademik harus dipandang sebagai kemampuan berpikir yang menciptakan perspektif ilmiah, bukan sekadar kewajiban resmi. Dosen dapat menggunakan media sosial sebagai jembatan, menjadikan konten digital sebagai jalan menuju bacaan akademik, bukan sebagai pengganti jurnal ilmiah itu sendiri.