Seringkali, pola interaksi yang tidak sehat muncul dalam dinamika hubungan interpersonal, baik itu pertemanan, keluarga, maupun percintaan. Sikap bermain korban atau berpura-pura menjadi korban adalah salah satu fenomena yang sering terjadi dan sangat erat terkait dengan hubungan berbahaya. Biasanya, kedua hal ini berjalan bersamaan, saling mendukung, dan pada akhirnya berujung pada kerugian bagi salah satu atau bahkan kedua belah pihak.
Apa itu playing victim?
Sikap seseorang yang menempatkan dirinya sebagai korban dalam berbagai situasi, meskipun sebenarnya ia juga berperan dalam masalah tersebut, dikenal sebagai playing victim. Orang-orang dalam peran ini sering menggunakan cerita “aku yang paling menderita” untuk mendapatkan perhatian, simpati, atau bahkan menghindari tanggung jawab yang mereka harus penuhi.
Ciri-ciri orang yang bertindak sebagai pelaku termasuk:
- Selalu menyalahkan orang lain atas masalah.
- Karena dia merasa paling dirugikan, dia tidak mau melihat sudut pandang lain.
- Menggunakan emosi seperti sedih, marah, atau kecewa untuk mengendalikan orang lain.
- Memilih untuk menghindari tanggung jawab dengan mengatakan, “Aku hanya korban.”
Toxic relationship: lebih dari sekedar hubugan tidak sehat
Toxic relationship adalah hubungan yang dipenuhi pola komunikasi dan perilaku tidak sehat, seperti manipulasi, pengendalian, rasa cemburu berlebihan, atau pelecehan emosional. Dalam hubungan ini, salah satu pihak sering merasa terkekang, tidak dihargai, dan kehilangan identitas dirinya.
Ketika seseorang berada dalam hubungan yang merugikan di mana mereka sering menjadi korban, hubungan tersebut semakin sulit untuk diperbaiki. Sebagai akibatnya, berperan sebagai korban membuat salah satu pihak menolak untuk mempertimbangkan apa yang mereka lakukan untuk menyelesaikan masalah saat ini, yang menghambat proses penyelesaian konflik yang konstruktif.
Mengapa playing victim dan toxic relationship sering beriringan?
Ada beberapa alasan mengapa kedua fenomena ini sering berjalan beriringan:
- Manipulasi Emosional
Seseorang yang playing victim sering menggunakan perasaan bersalah untuk mengendalikan pasangannya. Dalam toxic relationship, strategi ini menjadi senjata untuk mempertahankan kontrol.
- Lingkaran Setan Konflik
Hubungan toxic biasanya penuh dengan pertengkaran yang tidak kunjung selesai. Playing victim memperburuk keadaan karena salah satu pihak menolak introspeksi dan lebih memilih berlindung di balik peran “korban”.
- Ketakutan Akan Kehilangan
Dalam banyak kasus, playing victim muncul karena seseorang takut ditinggalkan. Dengan menampilkan dirinya sebagai korban, ia berharap mendapat simpati dan membuat pasangan enggan pergi.
- Mengaburkan Batas Sehat
Playing victim membuat sulit membedakan siapa yang sebenarnya salah atau benar dalam suatu konflik. Hal ini menciptakan kabut emosional yang semakin merusak fondasi hubungan.
Dampak negatif bagi kedua pihak
Jika dibiarkan, kombinasi playing victim dan toxic relationship akan memiliki konsekuensi negatif, seperti:
- Kehilangan kepercayaan diri terhadap pihak yang terus-menerus disalahkan
- Ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang sehat
- Trauma psikologis dapat disebabkan oleh kelelahan emosional.
- Karena tidak berkembang, hubungan tidak berkembang.
Cara mengatasi dan mencegah
Meskipun sulit, ada beberapa cara untuk keluar dari pola ini:
- Mengenali Pola: Perhatikan apakah Anda atau pasangan Anda sering berperan sebagai korban. Kesadaran merupakan langkah pertama.
- Komunikasi Jujur: Bicarakan perasaan Anda tanpa menyalahkan satu sama lain dan gunakan bahasa yang berfokus pada “aku” daripada “kamu”.
- Batas yang Sehat: Hindari manipulasi dalam hubungan dan tetapkan batasan emosional.
- Introspeksi Diri—Kedua belah pihak harus berani mengakui bahwa mereka melakukan kesalahan.
- Ketika masalah menjadi terlalu kompleks, mendapatkan bantuan profesional. Konseling atau terapi dapat menjadi jalan keluar. WH.