Toxic Forgiveness disebut juga sebagai Pengampunan Beracun. Kita pasti sudah mengetahui bahwa memaafkan adalah alternatif terbaik untuk menghadapi orang yang telah berbuat salah kepada kita. Memaafkan orang lain tidak hanya sebatas tindakan mulia, tetapi juga dapat menyembuhkan perasaan sakit hati seseorang terhadap orang lain. Namun, hal tersebut hanya bisa dicapai ketika kita memaafkan dengan bersungguh-sungguh.
Terkadang kita berpura-pura semuanya baik-baik saja dan memaafkan walaupun kita masih sakit hati terhadap orang lain hanya untuk menghindari masalah. Tindakan ini merupakan gambaran dari ‘Toxic Forgiveness’ atau ‘Pengampunan Beracun’.
Kenapa Toxic Forgiveness Berbahaya?
Seorang professor psikologi pendidikan di University of Wisconsin-Madison, Robert Enright menjelaskan bahwa memaafkan seseorang justru bisa menjadi racun untuk diri sendiri ketika ada kesalahpahaman tentang bagaimana sebenarnya memaafkan orang lain. Menurutnya, pemaknaan pengampunan yang tidak tepat justru bisa memberikan kesan yang buruk perihal memaafkan. Enright menekankan bahwa toxic forgiveness sebenarnya hanya sebatas meredakan situasi.
Manfaat memaafkan yang sebenarnya dapat kita rasakan dari hasil memaafkan dengan cara yang tulus, bukan karena kita mengalah pada tekanan untuk melepaskan seseorang. Ketulusan ini terlihat ketika kita benar-benar merasa telah menerima kesalahan mereka dan melupakannya.
Pada intinya, toxic forgiveness dapat menjadi bentuk pengkhianatan terhadap diri sendiri. Melakukan toxic forgiveness atau memaksakan untuk memaafkan seseorang dapat menyebabkan trauma atau bahkan menguras kesehatan mental kita.
Ketika kita memutuskan untuk memaafkan sebelum kita benar-benar siap, kita melewatkan proses untuk mengenali dan merasakan perasaan sakit hati yang terjadi pada diri kita. Dengan membiarkan diri kita merasakan apa yang benar untuk diri kita sendiri, maka kita dapat mengidentifikasi apa yang perlu kita sembuhkan sedari awal. Jika kita menerima permintaan maaf tanpa melakukan identifikasi tersebut, maka sebenarnya kita belum siap untuk memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain.
Dengan tidak memproses atau mengatasi rasa sakit yang kita rasakan, hal ini akan meningkatkan resiko rasa sakit itu akan muncul kembali di masa yang akan datang. Karena kita menyebabkan rasa sakit pada diri sendiri dan menahan perasaan yang sebenarnya belum bisa kita terima.
Kita mungkin juga merasa bahwa kita seperti tidak memiliki kemampuan untuk mengungkapkan pikiran saat kita saat berada dalam tekanan untuk memaafkan. Ini mungkin menyebabkan kita mengasingkan diri dari orang lain dan menimbulkan masalah dalam hubungan.
Tersakiti secara mendalam oleh seseorang dapat menyebabkan trauma dan kemarahan yang dapat menyebabkan depresi dan kecemasan. Itu juga dapat mengurangi harga diri, karena orang terkadang menganggap diri mereka tidak berharga ketika diperlakukan tidak adil, kata Enright.
Dr. Nerenberg menyatakan bahwa mereka tidak ingin memaafkan terlalu cepat tanpa memproses rasa sakit atau terlalu lambat, sehingga mereka tetap menderita dan kesal dalam status korban selama bertahun-tahun.
Enright menjabarkan 4 (empat) langkah untuk mulai memaafkan seseorang, yaitu sebagai berikut:
- Mengenali ketidakadilan atau permasalahan yang terjadi;
- Memutuskan bahwa kita ingin memaafkan;
- Menata ulang perspektif kita tentang orang lain;
- Utarakan kebaikan kepada orang lain.
Oleh karena itu, alangkah lebih baik jika kita jujur pada diri sendiri. Hal ini penting agar tidak ada rasa sakit hati yang tersisa dan memperbaiki hubungan antar sesama. BAS.