Di era digital, penampilan fisik sering dijadikan tolok ukur nilai diri seseorang. Fenomena ini melahirkan dua arus besar: body shaming yang merendahkan, dan body positivity yang menekankan penerimaan diri. Keduanya sama-sama kuat memengaruhi cara remaja dan masyarakat modern memandang tubuh. Namun, di tengah dorongan untuk mencintai diri apa adanya, muncul pertanyaan penting: apakah penerimaan diri boleh mengabaikan kesehatan?
Body Shaming: Tekanan Sosial yang Menyakiti
Body shaming adalah tindakan mengkritik atau mempermalukan seseorang karena bentuk tubuhnya. Komentar seperti “kok gemukan?” atau “kurusan dong biar cantik” sering terdengar ringan, namun dampaknya serius. Banyak korban mengalami rendah diri, gangguan makan, hingga depresi. Menurut data Kominfo body shaming termasuk jenis cyberbullying terbanyak di media sosial Indonesia. Di tengah standar kecantikan yang sempit dan seragam, banyak orang merasa tidak cukup baik hanya karena bentuk tubuhnya tidak sesuai dengan tren. Ini menciptakan tekanan sosial yang berbahaya, terutama bagi remaja yang sedang membangun kepercayaan diri.
Body Positivity: Mencintai Diri Apa Adanya
Sebagai reaksi terhadap budaya ejekan fisik, muncul gerakan body positivity. Gerakan ini mengajak masyarakat untuk menghargai tubuh tanpa memandang ukuran, warna kulit, atau bentuk. Pesannya jelas: setiap tubuh layak dihormati. Di media sosial, banyak influencer mengampanyekan foto tanpa filter atau editan berlebihan, menolak standar kecantikan palsu yang diciptakan industri. Dampaknya cukup besar banyak orang mulai berdamai dengan diri sendiri, berhenti membandingkan tubuh, dan fokus pada rasa percaya diri.
Penerimaan Diri Bukan Berarti Mengabaikan Kesehatan
Meski positif, gerakan ini juga menimbulkan dilema baru. Beberapa pihak khawatir semangat “terima tubuhmu apa adanya” dapat disalahartikan sebagai alasan untuk tidak menjaga kesehatan. Padahal, cinta diri seharusnya juga berarti merawat tubuh, bukan sekadar menerimanya.
WHO mencatat peningkatan kasus obesitas pada remaja di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kondisi ini memperlihatkan pentingnya keseimbangan antara penerimaan diri dan pola hidup sehat. Mencintai tubuh bukan berarti membiarkan gaya hidup buruk, melainkan memahami apa yang dibutuhkan tubuh agar tetap sehat dan kuat.
Mencari Titik Seimbang: Cinta Diri dan Perawatan Diri
Pendekatan yang ideal adalah self-love yang sadar kesehatan — mencintai tubuh tanpa tekanan sosial, namun tetap bertanggung jawab menjaganya. Makan bergizi, tidur cukup, dan rutin bergerak adalah bentuk kasih sayang paling nyata kepada diri sendiri.
Lingkungan sosial juga berperan penting, alih-alih saling mengomentari bentuk tubuh, masyarakat perlu menumbuhkan budaya saling menghargai dan mendukung gaya hidup sehat. Dorongan yang penuh empati jauh lebih bermanfaat daripada kritik yang merendahkan.
WH.

