Damai ala Stoa: Punya Masalah? Chill Aja!—Sebelumnya kita sudah membahas secara singkat terkait sejarah dan tujuan dari filosofi teras. Pada artikel sebelumnya, sudah dibahas terkait bagaimana musibah besar yang menimpa Zeno—kapal karam plus terdampar di pulau antah barantah—bukan membuat dirinya terpuruk hingga putus asa melainkan membuatnya melahirkan sebuah filsafat yang sejak 2300 tahun yang lalu hingga sekarang masih relevan untuk digunakan. Bukan hanya Zeno, James Stockdale, seorang pilot Angkatan Laut Amerika Serikat terjun di Perang Vietnam akibat pesawatnya yang ditembak jatuh di wilayah musuh. Stockdale menghabiskan waktu selama 7,5 tahun hidup menjadi tawanan perang dan menerima penyiksaan fisik hingga membuatnya harus berjalan pincang seumur hidupnya. Tidak berhenti di situ, Stockdale juga ditahan dalam sel isolasi selama 4 tahun yang mengakibatkan dirinya tidak bisa berhubungan dengan manusia lain. Meskipun mengalami penyiksaan yang sedemikian rupa, Stockdale tetap bersikap tenang. Ia bahkan mampu menghibur tawanan lain yang juga mengalami penyiksaan fisik. Lalu, bagaimana mereka mampu bersikap sedemikian rupa? Bagaimana, sih damai ala stoa?
Hidup selaras dengan alam—pahami bahwa melawan semesta sama saja dengan merusak kedamaian diri!
Prinsip utama dalam filosofi teras ini adalah penekanan terhadap hidup yang selaras dengan alam. Konteks alam yang dimaksud tidak hanya sebatas pada menjaga lingkungan hidup, tidak membuang sampah sembarangan dan juga menyayangi sesama makhluk hidup. Konteks alam yang dimaksud, jika dikaitkan dengan manusia adalah bagaimana manusia hidup sesuai dengan hakikat alamiahnya.
Manusia memiliki sesuatu yang membedakannya dengan makhluk hidup yang lain yani keberadaan nalar dan akal sehat. Hal ini merupakan “nature” dari manusia. Oleh karena itu, hidup selaras dengan alam bermakna hidup dengan menggunakan nalar serta akal pikirannya. Nah, di sini bagian tricky-nya.
Hidup dengan menggunakan nalar ataupun akal pikiran bermakna bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup harus disikapi dengan menggunakan akal. Sederhananya, saat kita ditimpa sebuah masalah atau musibah, kita cenderung mengedepankan emosi daripada akal dan logika pikiran. Bagi filsuf stoa, kamu sudah melawan kehendak semesta, loh! Saat kita kaitkan dengan masalah yang sering dihadapi oleh generasi Z, misalnya, diberi komentar buruk berupa body shaming di postingan Instagram kita. Jika kita bereaksi menggunakan emosi, tentunya respon yang kita berikan dalam bentuk emosi negatif berupa marah, kesal dan sejenisnya. Namun, coba pikirkan sejenak, apakah komentar tersebut benar-benar mengggambarkan kenyataan yang ada pada kita? Jika memang benar kenyataannya buruk seperti yang dikatakan mereka, apakah menimbulkan masalah dalam hidup kita? Jangan-jangan, kita merasa itu sebuah masalah karena ekspektasi kita sendiri bahwa manusia harus sempurna. Nah, kalau begini masalahnya bukan pada komentar orang tetapi pikiran kita sendiri, bukan?
Dikotomi kendali—diri manusia hanya punya kendali yang terbatas, fokus pada hal-hal yang ada dalam kendali kita saja!
Mengutip kalimat Epictetus, “Some things are up to us, some things are not up to us,” bisa ditanamkan dalam pikiran setiap individu bahwa tidak semua hal yang ada di dunia ini dapat kita kendalikan. Jika kita benar-benar memahami kalimat yang disampaikan Epictetus, tentu kasus komentar buruk yang kita dapatkan di media sosial tidak lagi bisa merusakan kedamaian batin kita. Kok bisa?
Jawaban singkatnya adalah prinsip “dikotomi kendali”. Prinsip ini merupakan prinsip fundamental dari filosofi stoa terkait hal-hal yang ada dalam hidup kita. Prinsip dikotomi kendali ini membagi dua hal dalam hidup yaitu hal yang ada di bawah kendali kita dan yang tidak di bawah kendali kita.
Tindakan orang lain, opini, reputasi, kesehatan, kekayaan, dan segalanya yang berada di luar pikiran kita bukanlah hal-hal yang berada di bawah kendali ataupun kekuasaan kita. Lalu, jika dikaitkan dengan kejadian komentar buruk di atas, sudah pasti opini orang lain bukan menjadi kendali kita. Sebaliknya, pikiran dan interpretasi kita atas komentar yang disampaikan itu yang sebenarnya menyakiti diri kita sendiri. Alih-alih galau berminggu-minggu, fokuskan pikiranmu untuk memperbaiki diri jika memang masih merasa kurang. Namun ingat bahwa saat kita merasa kurang setelah membandingkan diri dengan orang lain juga sudah melanggar prinsip dikotomi kendali. Sebaliknya, jika kita merasa bahwa tidak ada yang salah dengan diri kita maka komentar buruk yang disampaikan orang tersebut tidak akan memberi pengaruh apa-apa pada diri kita.
Lalu, apa kesimpulan yang bisa diperoleh dari filosofi ini?
Makna penting yang dapat dipetik dari filosofi ini adalah pemahaman kita bahwa dalam hidup, seberapa besar masalah yang dihadapi, jika kita memahami bagian-bagian mana yang merupakan kendali kita serta semaksimal mungkin menggunakan akal logika dapat menuntun kita untuk mendapatkan kedamaian serta ketentraman dalam hidup. Sebab, saat kita mampu merasa damai, apapun yang terjadi dalam hidup dapat disikapi dengan baik dan membawa ketentraman dalam jiwa manusia. Slogan damai ala stoa yang paling tepat, sih,
Punya masalah? Chill Aja!
PRS.