Sekarang ini kita hidup di zaman multi krisis. Tidak heran jika manajemennya pun manajemen krisis. Dalam kondisi seperti ini banyak yang memakai prinsip ‘pasrahisme’. Apa kata mereka? “Yang penting kita bisa hidup, yang penting kita bisa menerima”, yaitu apa yang disebut dengan “rimo mentality”. Tidak ada ruang untuk protes, mentalitas menerima apa adanya. Sudahlah, apa pun yang terjadi kita harus terima, buat apa ‘ngoyo’, singkatnya demikian. Tentu saja ini bukan yang dimaksud dengan istilah tawakal. Konsep tawakal itu akan terjadi setelah kita melewati proses ikhtiar plus doa. Tapi, kalau tiba-tiba Anda meloncat kepada tawakal, berarti Anda sudah bersikap fatalistik. Saya teringat sebuah peristiwa ketika Rasulullah menegur seorang jamaah yang menaruh unta tetapi tidak diikatkan ke sebuah tiang. Lalu ditegur oleh Rasulullah, “Bagaimana Anda bisa membiarkan unta Anda tanpa diikat?” Orang itu menjawab, “Ya Rasulullah, saya tawakal. Kalau memang sudah takdirnya hilang ya hilang saja, silakan. Tapi kalau masih rezeki saya, tentu unta itu ada.” Rasullulah membantah argumen orang itu, “Bukan begitu yang dimaksud dengan tawakal. Anda ikat dengan kencang baru setelah itu Anda tawakal” Usaha yang keras dan berdoa yang tekun baru kita tawakal kepada Allah SWT.
Inilah yang disebut dengan stabilitas dimana dalam bertindak tidak lagi didasarkan kepada emosional, tapi dianalisis secara rasional dan diputuskan secara spiritual. Tidak sedikit diantara kita ketika menghadapi suatu masalah, serta merta langsung bersikap reaktif pada masalah tersebut. Kita menjadi orang yang “kagetan”. Contohnya ketika harga BBM naik kita bersegera antri di pom bensin secepat mungkin. Sebaliknya jika kita memiliki stabilitas, jebakan emosional, tidak akan mengurung kita lagi. Dengan kata lain kita telah mampu bersikap proaktif.
Apa yang saya maksud dengan proaktif itu adalah kombinasi dari dua sifat. Yang pertama adalah inisiatif dan yang kedua adalah sensitif. Seorang yang Stability, dia mempunyai satu kepekaan/sensitivitas, kepekaan terhadap situasi, kapan harus bertindak, kapan harus berdiam diri. Kemudian yang kedua adalah inisiatif. Yaitu kemampuan seseorang untuk mendahului sebuah pekerjaan/tugas sebelum didahului permintaan orang lain. Ada orang yang peka tetapi tidak berinisiatif. Ada orang yang berinisiatif tapi tidak didorong oleh rasa kepekaan. Untuk menyelaraskan keduanya anda perlu balancing tool. Yaitu daya intuisi anda. Ketika intuisi telah mampu melakukan link and match terhadap sensitivitas dan inisiatif, artinya anda telah mencapai kestabilan hidup. Namun jika berhenti sampai pada tahap ini saja maka akan melahirkan mental ‘status quo. Al-Qur’an menyatakan : “Ketahuilah. Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup? (QS Al ‘Alaq 6-7).
“Stability akan membawa kita pada wilayan sukses. merasa bahwa jika telah sampai pada sukses, maka sudah selesai hidup kita. “Saya sudah mencapai puncak keberhasilan, apalagi yang harus saya kerjakan? Semua sudah saya dapatkan, jabatan, uang, rumah, segala macam simbol-simbol kesejahteraan sudah saya peroleh,” demikian komentarnya. Para insan sejati, untuk hidup berkah, ternyata tidak cukup hanya sukses saja, langkah awal menuju hidup berkah perlu didahului dengan kepahaman makna sukses itu sendiri. Ada satu kalimat yang menarik dan ini menjadi sebuah definisi yang sangat sederhana dari sabda nabi kita Muhammad SAW., “Barangsiapa yang hari ini sama seperti yang terdahulu, maka dia termasuk orang yang tertipu. Barangsiapa yang hari ini lebih buruk dibandingkan yang terdahulu, maka dia termasuk orang-orang yang merugi dihadapan Allah SWT. Jadi, orang yang sukses adalah today is better than yesterday. Hari ini lebih baik dibandingkan yang terdahulu dan tentu saja tomorrow will be better than today, hari esok akan lebih baik dibandingkan hari ini. Saya tidak pernah mempertanyakan sudah berapa langkah yang Anda lakukan, sudah berapa meterkah Anda maju, namun yang terpenting adalah judulnya Anda sudah melangkah. Ketika Anda sudah melangkah, itu artinya Anda sudah sukses, Anda sudah lebih dari yang sebelumnya. Dan sukses yang telah dicapai menggambarkan kebutuhan manusia akan invaksikan seorang penyerang yang baru saja membobo)kan gawang lawanya dia (¡en) melakukan satu action, din akan mengangkat kedua tangannya sebagani but? bahwa dia sudah berhasil.
Yang ada dalam hatinya adalah bagaimana saya bisa sukses dan saya bisa membuat orang lain berhasil seperti saya–bahkan lebih dari saya. Intinya, siap sukses tapi juga siap suksesi. Kalau hanya siap sukses tapi tidak siap suksesi, artinya kita belum termasuk orang-orang yang signifikan. Orang-orang yang signifikan adalah selain sukses, dia juga siap untuk suksesi, dia siap “dilengserkan” kapan saja Para insan sejati, ketika saya menjadi seorang manajer, apa yang akan saya lakukan sebagai seorang yang signifikan? Saya akan buat, saya akan didik, saya akan latih anak buah saya, bagaimana mereka menjadi seorang manajer. Mungkin Anda akan bertanya pada saya, “Lantas dimana posisi Anda pada saat itu?” Ketika mereka menjadi manajer, tentu saja saya menjadi general manager. Ketika saya menjadi seorang GM, saya akan didik para manajer saya untuk menjadi seorang
Kemudian Anda akan bertanya, “Dimana posisi Anda?” Saya sudah menjadi seorang direktur. Begitu seterusnya. Kehidupan terus akan memenangkan kita, dia akan terus membawa kita kepada keberkahan. Seorang yang sukses belum tentu berkah, tetapi seorang yang signifikan sudah pasti akan berkah, sebagaimana yang dialami oleh Rasulullah. Beliau tidak hanya sukses untuk dirinya, tapi juga bisa membuat sukses orang lain. Siapa yang tidak kenal Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar ibnul-Khaththab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib? Mereka itu adalah hasil didikan dari Nabi Muhammad saw. Sehingga, setelah Rasulullah meninggal pun dakwah terus berkembang bukan hanya di kawasan Arab bahkan kawasan dunia internasional yang tidak pernah kita bayangkan sampai ke negeri yang jauh. Di zaman Umar ibnul-Khathab dakwah bisa sampai ke Spanvol, suatu hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ini berarti bahwa beliau adalah seorang significant. Sekali lagi signifikan adalah orang yang sukses tetapi dia juga bisa membuat berhasil orang lain. Para insan sejati di manapun Anda berada, kami ingin Anda* menjadi orang yang signifikan, bukan hanya sukses untuk diri Anda sendiri tapi Anda bisa membagi kesuksesan pada orang lain. Alangkah indahnya kalau hidup ini dikelilingi orang-orang yang sukses, kita akan selalu mendapatkan positive power energi positif yang ada di lingkungan kita. If you think positive, we do positive action.
Kalau kita memikirkan satu hal yang positif, maka tindakan kita pun akan positif. Para insan sejati, itulah gambaran orang yang sukses di atas sukses. Seorang ibu yang sukses adalah seorang ibu yang bisa mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang saleh yaitu anak yang pintar, benar, tegar, dan segar. Bukan hanya unggul secara fisik tapi juga mental-spiritual. Setelah anaknya dewasa maka dia didik anak-anaknya untuk bisa memberikan pengalaman berarti kepada orang lain dengan cara yang sama. Pada akhirnya anak itu akan menjadi orang tua dan dia barus bisa mendidik anaknya seperti itu juga.
Ketika Anda menjadi seorang pemimpin pada sebuah perusahaan, marilah kita bina dan bimbing anak buah kita untuk menjadi pimpinan. Dan, ketika mereka bisa menjadi pemimpin, maka Anda sudah lebih tinggi dibandingkan mereka. Inilah spirit yang diajarkan Allah swt. di dalam salah satu ayat-Nya, “Faidza faraghta fanshab waila rabbika farghab” Apabila Anda telah selesai melaksanakan satu pekerjaan, maka bersiap-siaplah Anda menghadapi pekerjaan berikutnya. Bagi saya ayat ini ada dua makna.
Pertama, jangan Anda coba-coba untuk masuk pada pekerjaan baru sebelum Anda selesaikan yang lama. Tuntaskan, selesaikan. Kedua, setelah Anda menyelesaikan pekerjaan lama, Anda harus bersiap diri masuk pada pekerjaan berikutnya. Tidak ada kata istirahat selama kita hidup di dunia. Kita selalu bekerja dan bekerja, no rilex. Rileks ada pada pekerjaan itu sendiri. Kalau kita menikmati pekerjaan itu, kita akan mendapatkan rileks pada pekerjaan tersebut, dan kita senantiasa menilai bekerja adalah ibadah. Rasulullah bersabda, “Arihna bishalah.”
Shalat itu adalah istirahatnya Nabi Muhammad saw. Jadi, setelah usai satu pekerjaan, kita “ready” dengan pekerjaan yang lebih besar lagi, big job. Jangan kita hanya sekadar mengerjakan small job pekerjaan-pekerjaan kecil, tapi kita harus sip menghadapi pekerjaan-pekerjaan yang besar. Ini adalah challenge buat Anda. TA