Minggu, Mei 18, 2025
- Pendidikan Masa Depan
  • Beranda
  • Pendidikan
  • Teknologi
  • Ragam
  • Ecommerce
No Result
View All Result
- Pendidikan Masa Depan
  • Beranda
  • Pendidikan
  • Teknologi
  • Ragam
  • Ecommerce
- Pendidikan Masa Depan
No Result
View All Result

PSIKOLOGI Didikan Gwansik dalam DRAMA When Life Gives You Tangerines: Tulus, Tegas, dan Penuh Trauma

Tia Aulia by Tia Aulia
17 April 2025
in Artikel
0
PSIKOLOGI  Didikan Gwansik dalam DRAMA When Life Gives You Tangerines: Tulus, Tegas, dan Penuh Trauma
0
SHARES
18
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Drama Korea When Life Gives You Tangerines menyuguhkan lebih dari sekadar kisah tumbuh dewasa. Ia memperlihatkan dinamika relasi ayah-anak yang begitu kompleks, khususnya lewat karakter Gwansik, seorang ayah yang keras sekaligus penuh luka. Bagi para penonton, cara didikan Gwansik mungkin terasa dingin, bahkan kasar. Namun, jika kita menilik dari sudut pandang psikologi pengasuhan, cara ini menyimpan banyak makna yang patut direnungkan.

🧠 Didikan Otoriter: Tegas Tanpa Banyak Pelukan

Gwansik jelas termasuk figur orang tua yang menganut gaya pengasuhan otoriter—penuh aturan, minim kompromi. Ia jarang mengekspresikan kasih sayang secara verbal maupun fisik. Anaknya, Hyanggi, sering kali tampak tertekan karena beban harapan yang ditanamkan ayahnya begitu besar. Dalam psikologi, pola seperti ini dapat membentuk anak yang disiplin, tetapi juga menyimpan luka batin jika tidak diimbangi dengan dukungan emosional.

Namun, menariknya, meski terkesan keras, Gwansik tidak pernah benar-benar meninggalkan anaknya. Ia hadir, ia memperhatikan, hanya saja ia tidak tahu bagaimana mengekspresikan cinta selain dengan bekerja keras dan memastikan hidup anaknya “berjalan lurus.”

🌾 Luka yang Diturunkan: Pola Asuh Berbasis Trauma

Satu hal yang menonjol dalam karakter Gwansik adalah bekas luka masa lalunya. Seperti banyak orang tua di dunia nyata, ia adalah produk dari trauma dan kesulitan hidup. Gaya didiknya bukan sekadar pilihan, melainkan warisan dari zaman yang keras. Ia tumbuh dalam kondisi sulit dan mempercayai bahwa hidup hanya bisa dihadapi dengan kekuatan, bukan kelembutan.

Dalam teori psikologi, ini disebut sebagai parenting based on survival mode—gaya pengasuhan yang terbentuk dari pengalaman bertahan hidup, bukan dari ruang yang aman dan stabil.

🧩 Cinta yang Terlalu Dalam, Tapi Tidak Pandai Diungkapkan

Yang membuat Gwansik menarik adalah: ia mencintai, tapi tidak tahu cara mencintai. Ia mengorbankan dirinya, membatasi kebahagiaannya, dan bahkan menekan emosinya demi anaknya. Namun karena tidak pandai mengekspresikan emosi, cinta itu berubah bentuk menjadi kekakuan dan kontrol.

Ini menunjukkan bahwa kasih sayang yang tidak tersampaikan dengan baik bisa terasa seperti penolakan. Dalam dunia psikologi, ini adalah bentuk emotional misattunement—ketidaksesuaian antara niat orang tua dan persepsi anak.

🌻 Transformasi: Ketika Jeruk Menjadi Simbol Kehangatan

Uniknya, dalam drama ini, jeruk bukan sekadar buah lokal, tapi juga simbol perubahan. Di balik kehidupan keras Gwansik, ada keinginan untuk tumbuh dan menyembuhkan. Ketika ia mulai membuka diri dan memahami luka anaknya, perlahan-lahan kita melihat sisi hangat dari seorang ayah yang selama ini tersembunyi.

Itulah momen penting dalam pengasuhan: kesadaran untuk berubah. Dan drama ini memperlihatkan bahwa bahkan orang tua yang keras sekalipun bisa belajar menjadi lembut, jika diberi kesempatan untuk memahami dirinya sendiri terlebih dahulu.

✨ Catatan Penutup: Tidak Ada Orang Tua yang Sempurna

When Life Gives You Tangerines adalah pengingat bahwa di balik cara didik yang terasa salah, sering kali tersembunyi niat baik yang tidak tahu jalan keluar. Gwansik bukan ayah ideal, tapi ia adalah potret nyata dari banyak orang tua di dunia ini: mencintai, berkorban, tapi bingung bagaimana menyalurkan kasih sayang.

Sebagai anak, penting untuk memahami bahwa orang tua pun membawa beban yang tak kita tahu. Dan sebagai orang tua (atau calon), mari belajar bahwa cinta tidak hanya perlu niat baik, tapi juga cara yang tepat untuk menyampaikannya. TA

Tags: Mental Healthphysical healthpsychology
Previous Post

Kerja ala Gen Z: Work-Life Balance agar Produktivitas tetap Terjaga

Next Post

Cari Cuan Tambahan? Ini 10 Side Hustle yang Bakal Booming di 2025

Next Post
Side hustle booming paling dicari 2025

Cari Cuan Tambahan? Ini 10 Side Hustle yang Bakal Booming di 2025

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pos-pos Terbaru

  • Fenomena Tagar #KaburAjaDulu: Cermin Keresahan Generasi Muda Indonesia
  • Memahami Fase Menstruasi: Proses Alami yang Perlu Diketahui Setiap Perempuan
  • Cari Cuan Tambahan? Ini 10 Side Hustle yang Bakal Booming di 2025
  • PSIKOLOGI Didikan Gwansik dalam DRAMA When Life Gives You Tangerines: Tulus, Tegas, dan Penuh Trauma
  • Kerja ala Gen Z: Work-Life Balance agar Produktivitas tetap Terjaga

Komentar Terbaru

  1. Alasan Dibalik Kewajiban Indonesia dalam Memberikan Perlindungan pada Pengungsi - Pendidikan Masa Depan mengenai Prinsip Hukum Humaniter yang Harus Diperhatikan dalam Melakukan Perang
  2. Hamba allah mengenai Deportasi Pengungsi dan Pencari Suaka dari Indonesia, Apakah Bertentangan dengan Prinsip Universal Hak Asasi Manusia dan Hukum Internasional?
  3. Media Sosial: Silaturahmi dan Lebaran - Pendidikan Masa Depan mengenai Teknologi Semakin Maju,Kita Generasi Muda Harus Apa ?
  4. Let's Recognise The Type Of Plastic Packaging You Use! mengenai Highly Sensitive Person
  5. Apakah flexing dan hedonisme sama? Mari simak penjelasannya - mengenai Metaverse Masa Depan Ekonomi Digital

Copyright © 2022 segudangilmu.com

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Pendidikan
  • Teknologi
  • Ragam
  • Ecommerce

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In