KDRT (Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga) menjadi salah satu kasus kekerasan yang masih sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Angka kasus KDRT di Indonesia setiap tahunnya masih terbilang cukup tinggi. Perlu kita ketahui bahwa korban KDRT sebagian besar adalah perempuan. Penyebabnya adalah budaya dan nilai-nilai masyarakat yang masih menganut sistem patriarki yang menganggap laki-laki lebih tinggi dalam segala aspek dari pada perempuan.
Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2023 yang dirilis pada 7 Maret 2024, tindak kekerasan di ranah personal yang paling banyak aduannya ke Komnas Perempuan adalah Kekerasan Terhadap Istri (KTI). CATAHU mencatat sebanyak 674 kasus KTI terlapor sepanjang 2023. Selain bersumber dari laporan Komnas Perempuan, CATAHU juga memperoleh laporan kekerasan dari lembaga lainnya. Lembaga Layanan mengungkap bahwa kekerasan terhadap istri menduduki posisi tertinggi, yaitu 1.573 kasus sepanjang 2023.
Beberapa waktu lalu media sosial ramai memberitakan terkait Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau Domestic Violence. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran terbesar bagi masyarakat (khususnya perempuan). Karena rumah yang mereka anggap sebagai ruang paling aman dan nyaman justru malah sebaliknya. Namun sayangnya, masih banyak orang yang menganggap kasus KDRT sebagai aib keluarga yang harus ditutupi. Sehingga banyak perempuan korban KDRT menjadi tidak berani untuk speak up dan melaporkan kekerasan yang mereka alami.
Padahal semua bentuk kekerasan termasuk KDRT sudah memiliki payung hukum yang jelas. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) telah mengatur tentang KDRT. Negara memberikan Undang-Undang ini sebagai jaminan untuk mencegah terjadinya KDRT, menindak pelaku KDRT, dan melindungi korban KDRT.
Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Rekomendasi Umum No. 19 Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (1992) menyatakan bahwa kekerasan berbasis gender adalah sebuah bentuk diskriminasi yang secara serius menghalangi kesempatan wanita untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki. Kekerasan berbasis gender mencakup berbagai bentuk kekerasan baik kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang terjadi yang berakar pada perbedaan berbasis gender dan jenis kelamin yang sangat kuat di dalam masyarakat. Sedangkan dalam UU PKDRT bentuk-bentuk kekerasan tersebut meliputi kekerasan fisik (Pasal 6), kekerasan psikis (Pasal 7), kekerasan seksual (Pasal 8), dan penelantaran rumah tangga (Pasal 9).
Hak-Hak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Perlu kita pahami pula bahwa korban KDRT memiliki hak sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 10 UU PKDRT, yaitu:
- Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
- Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
- Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
- Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
- Pelayanan bimbingan rohani.
Tidak hanya itu, Pasal 15 UU PKDRT juga menegaskan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
- Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
- Memberikan perlindungan kepada korban;
- Memberikan pertolongan darurat; dan
- Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa kasus KDRT bisa dilaporkan karena tindakan ini termasuk dalam perbuatan pidana. Bab VIII UU PKDRT tentang Ketentuan Pidana, Pasal 44 hingga Pasal 50, menetapkan sanksi untuk pelaku KDRT. Jika korban tidak melaporkan kasus KDRT, maka semakin lama akan semakin membahayakan korban. Karena pada umumnya kekerasan dalam rumah tangga selalu terjadi secara berulang seperti halnya sebuah siklus. Melaporkan kasus KDRT memberikan kesempatan untuk mendapat perlindungan kepada korban. Selain itu, memberikan efek jera kepada pelaku dan mencegah terulangnya kasus yang sama terhadap orang lain di masa yang akan datang.