Beberapa produksi kakao kerap melakukan inovasi dalam beberapa eksperimen proses pascapanen pengolahan pasil pangan, bahkan digunakan di beberapa washing station dan menjadi karakteristik baru proses pembuatan cokelat, seperti halnya Carbonic Maceration. Proses pascapanen tersebut dipopulerkan oleh laman TikTok @naktekpang, beliau merupakan sarjana teknologi pangan sekaligus content creator. Ia melakukan eksperimen pembuatan cokelat dilabnya sendiri untuk dimakan pada saat valentine tiba dengan menggunakan biji kako yang diolah melalui proses Carbonic Maceration. Sejak saat itu, metode pengolahan biji kakao tersebut menjadi sebuah perbincangan di tiktok mengenai olahan pangan khususnya penemuan kakao wine.
Apa itu Carbonic Maceration?
Carbonic Maceration dikenal sebagai proses pascapanen yang biasa digunakan dalam pembuatan wine, seperti di Beaujolais, Perancis. Metode tersebut dilakukan dengan menggunakan anggur yang difermentasi, sehingga memiliki zat karbondioksida sebelum dijadikan dalam bentuk minuman.
Rupanya, metode ini juga diterapkan dalam pengolahan kakao yang juga memanfaatkan karbondioksida dalam fermentasi biji cokelat. Awalnya, cara ini sudah diterapkan lebih dari 15 tahun lalu, tepatnya di Costa Rica.
Apa itu Kakao Wine ?
Keringat kakao adalah cairan kekuningan pucat yang keluar dari tumpukan kakao yang difermentasi dan merupakan produk pemecahan dari lendir yang mengelilingi biji kakao segar. Hal ini disebabkan oleh kerja enzim pektin selama fermentasi dari biji kakao. Aktivitas enzim pektin ini terutama disebabkan oleh mikroba.
Apa yang membedakan proses Carbonic Maceration dengan proses pascapanen lainnya?
Proses pascapanen seperti ini merupakan sebuah inovasi dan menjadi sebuah eksperimen untuk menghasilkan produk olahan yang berbeda. Pada proses ini, buah kakao dipetik dengan sempurna. Lalu, kakao disortir secara manual biji yang baik dan yang tidak baik dan dituangkan ke dalam wadah atau tangki yang berbahan stainless steel yang sebelumnya dilapisi kain jaring untuk untuk mendapatkan hasil fermentais yang maksimal. Lalu kakao disimpan di tempat yang tertutup (bila perlu beri daun pisang agar lebih panas dan penga) dengan kelembaban sekitar 24˚C.
Setelah itu, biji kakao yang sudah dipindahkan ke dalam wadah dan difermentasikan dengan menambahkan ragi yang telah dilarutkan, kemudian dikeringkan di ‘Dehidrator’ selama 2 hari sebelum penggilingan kering pada suhu 55 ˚C.
Apa yang terjadi pada proses Carbonic Maceration terhadap kakao?
Hasil yang didapati dari proses Carbonic Maceration terletak pada pengembangan profil rasa. Dengan memanfaatkan lingkungan yang terkendali, kaya akan karbondioksida yang diperlukan untuk fermentasi wine kakao, petani dapat mengontrol ragi dan bakteri yang aktif selama fermentasi berlangsung dan seberapa lama. Hal ini mampu mengembangkan cita rasa wine kakao tanpa memberikan risiko oksidasi berlebih atau fermentasi alkohol yang dapat merusak profil kakao.
Apakah kakao yang diproses Carbonic Maceration lebih enak?
Kata ‘enak’ memang terdengar relatif dan terlalu general. Hal ini merupakan sebuah impresi yang subyektif. Bisa jadi kata ‘enak’ menurut petani kakao, namun dirasa ‘tidak enak’ bagi penikmat minuman berkarbonasi lainnya. Dengan adanya biji kakao yang diproses dengan metode Carbonic Maceration ini dapat memberikan pengalaman baru yang tidak biasa ditemukan pada rasa dan aroma kakao diluar sana. Di ranah minuman berkarbonasi, setiap biji kakao memiliki tahap penilaian. Biji kakao yang diolah dengan proses ini pun menggunakan teknik dan sistem penilaian untuk mengelompokkan biji kakao. Mulai dari cupping, penyortiran, pembelian, serta kompetisi global. Semuaa bisa dilakukan oleh Sommelier (Ahli Wine). TA